JAKARTA – Salam dua jari yang menandakan mendukung pasangan calon (paslon) nomor 2 baru saja viral karena dilakukan oleh ibu negara Iriana. Salam dua jari itu dilambaikan dirinya saat tengah berada di mobil ketika ikut bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengunjungi Jawa Tengah.
Pengamat politik Citra Institute Efriza mengatakan, salam dua jari yang dilambaikan Iriana dilakukan dengan kesadaran penuh. Ini karena dirinya adalah ibu dari cawapres nomor 2 yakni Gibran Rakabuming Raka yang berpasangan dengan Prabowo Subianto.
“Iriana diyakini melakukan itu dengan sadar, seperti ia memberikan jempol mendukung Gibran maju dalam Pilpres. Apalagi komentar Presiden Jokowi sekaligus ayahnya Gibran, dalam kondisi senang atau menyenangkan, artinya disinyalir mereka senang karena anaknya maju cawapres, dan didukung,” jelas Efriza.
Bu Iriana dan Pak @Jokowi sedang menggunakan Mobil Pribadi, Jadi gak masalah salam 2 Jari .😅
Semangat Pak Buk mumpung masih ada fasilitas .
Laporan Selesai .. pic.twitter.com/IYtiszCFzX
— Septian Raharjo (@Gus_Raharjo) January 24, 2024
“Saya melihat ini natural saja, seorang ibu akan selalu mendukung pilihan politik anaknya, dan ia juga akan selalu berada disamping anaknya. Saya mencermati tangan dua jari, memang bahasa sederhana tapi tegas, ia selalu mendukung Gibran. Meski begitu, Iriana tak berkampanye secara langsung, menyampaikan melalui orasi. Sekadar mobilnya melintas dan mengeluarkan jari dengan bentuk salam dua jari,” tambahnya.
Menurut Efriza, sebenarnya sama saja, ketika Anies ataupun Ganjar, maupun Jokowi melakukan mohon restu kepada ibunya, mereka malah sengaja mengundang media meliput, agar meraih simpatik publik. Sebagai ibu akan menunjukkan sisi dukungan emosionalnya.
Dia mengatakan, Iriana memang hanya ekspresi simbol tangannya saja, tapi sudah luar biasa heboh jagat politik. Sekadar ekspresi dukungan orang tua ke anak, memungkinkan ledakan emosi spontanitas, memungkinkan hal sederhana.
Meski begitu, hanya saja yang menjadi persoalan adalah posisi Prabowo-Gibran dalam segi elektabilitas adalah posisi puncak. Juga Jokowi adalah Presiden dan anaknya cawapres yang akan melanjutkan kebijakannya, serta ada soal etis dan moral yang menghinggapi Gibran pasca putusan MK yang membuat dirinya mulus menuju posisi cawapres.
“Jika hal itu kaitannya, dari sini, kita semestinya belajar untuk tegas menolak politik kekeluargaan, politik dinasti, di level nasional dan daerah. Namun jika berbicara etika sudah merisaukan hati publik, karena Iriana dianggap ada ketidakpastian, bukan memberikan teladan yang baik,” kata dia.
Maka hal yang sama dari politik identitas dan politik kekeluargaan di daerah, sebab mereka juga petahana, mereka juga jelas-jelas berjuang untuk tetap kekuasaan berada di keluarganya. Jadi, jika level nasional kita resah, hal ini harus dibawa ke level daerah, kita juga resah karena hanya tujuh provinsi di Indonesia yang tidak terjadi politik dinasti atau politik kekeluargaan.
“Jadi akan berbeda jika seorang ayah/ibu mendukung anaknya tapi ayah/ibunya tidak dari dinasti, tidak menjalankan politik kekeluargaan, tidak sedang menjabat. Kita akan bisa menerima keakraban ibu/ayah dan anak itu sebagai restu/dukungan serta mohon doa restu. Tapi jika sudah bentuk politik dinasti maupun politik kekeluargaan, semestinya kita risau momet ini dijadikan keprihatinan sosial, mari kita bawa narasi di nasional hingga ke daerah, karena dinasti politik dan politik kekeluargaan menyebabkan nilai kebebasan dalam demokrasi seperti kesempatan untuk dipilih perlahan menyusut, ruang ini hanya dimiliki oleh segelintir orang saja,” tuturnya.