Oleh: Hananto Widodo, Dosen Hukum Tata Negara Dan Hukum Administrasi Universitas Negeri Surabaya
JAKARTA – Faizal Assegaf bersama beberapa orang dalam pertemuannya dengan Menkopolhukam Mahfud MD meminta kepada Mahfud MD untuk membantu mereka agar Jokowi bisa dimakzulkan dari kursi Kepresidenan. Mahfud dengan tegas menolak permintaan Faizal Asegaf dkk, dengan alasan itu merupakan wilayah dari partai politik dan DPR bukan wilayah eksekutif.
Isu pemakzulan Presiden bukan kali ini saja muncul, tetapi isu ini selalu muncul ketika sebagian kelompok masyarakat merasa tidak puas dengan sosok Presiden yang notabene adalah lawan politik mereka. Seakan-akan pemakzulan merupakan solusi dari carut marutnya persoalan bangsa ini. Sehingga apapun masalahnya, pemakzulan Presiden adalah obatnya.
Isu pemakzulan ini tidak hanya menghantui pemerintahan Jokowi sekarang ini, tetapi pada awal-awal pemerintahannya isu pemakzulan selalu muncul. Bahkan pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) isu pemakzulan juga kerap digulirkan. Masuk akal atau tidak masuk akal pokoknya isu pemakzulan akan terus menghantui setiap rezim dari pemerintahan pasca Orde Baru.
Isu pemakzulan yang digulirkan oleh Faizal Assegaf dkk kemudian didukung sepenuhnya oleh Saiful Muljani. Dan mereka berpendapat bahwa pemilu bisa berjalan dengan jujur dan adil jika Jokowi dimakzulkan sebagai Presiden. Kecurigaan mereka terhadap pemilu yang bakal berjalan tidak adil, disebabkan putra Jokowi, yakni Gibran Rakabuming Raka merupakan salah satu kontestan dari perhelatan pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2024. Pertanyaannya tepatkah alasan kecurigaan dari beberapa pihak terhadap kemungkinan tidak berjalannya pemilu secara jujur dan adil dijadikan alasan untuk memakzulkan Jokowi?
Memang sekarang ini, konstelasi politik di DPR sudah cukup berubah, di mana koalisi parpol pendukung Jokowi menjadi pecah akibat kontestasi pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden. PDIP yang merupakan penyokong utama rezim Jokowi, sekarang ini mendukung pasangan Ganjar-Mahfud. Nasdem yang menjadi salah satu penyokong Jokowi juga mendukung pasangan Anies-Muhaimin. Namun, apakah dengan terpecahnya koalisi partai politik berarti pemakzulan terhadap Jokowi menjadi mudah untuk dilakukan?
Berbicara mengenai Upaya pemakzulan bukan sekedar terkait dengan hitung-hitungan konstelasi politik, tetapi juga terkait dengan alasan kenapa Jokowi harus dimakzulkan. Sebagaimana kita ketahui bahwa alasan pemakzulan Presiden sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945 adalah berbeda. Alasan pemakzulan Presiden sebelum perubahan UUD 1945 adalah alasan politik. Ukuran yang digunakan DPR dan MPR pada waktu itu adalah Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Jika Presiden dianggap melanggar haluan negara, maka Presiden bisa diberhentikan, dengan melalui proses memorandum oleh DPR. Proses memorandum ini bisa dikatakan merupakan peringatan yang dilakukan oleh DPR kepada Presiden.
Jika Presiden tidak mengindahkan memorandum yang dikeluarkan oleh DPR sebanyak dua kali, maka DPR bisa mengundang MPR untuk mengadakan persidangan Istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden. Pertanggungjawaban Presiden ini jika ditolak bisa berujung pada pemberhentian Presiden. GBHN ini bersifat abstrak sehingga apakah Presiden itu melanggar terhadap GBHN atau tidak akan sangat bergantung pada penafsiran dari DPR dan MPR.
Oleh karena itu, pada masa itu konstelasi politik merupakan syarat mutlak terhadap upaya pemakzulan Presiden. Jika partai politik pendukung pemerintah solid, maka Presiden aka naman, tetapi jika partai pendukung pemerintah menjadi pecah, maka akan membuat riskan kedudukan Presiden, seperti yang dialami oleh Gus Dur.
Pasca perubahan UUD 1945, syarat untuk memakzulkan Presiden menjadi lebih sulit. Karena pilihan sistem pemerintahan kita adalah untuk melakukan purifikasi terhadap sistem presidensiil. Salah satu tujuan dari sistem presidensiil adalah agar pemerintahan menjadi stabil dan tidak gampang untuk dijatuhkan. Jika pemerintah gampang dijatuhkan, maka akan berakibat pada stabilitas politik yang berdampak juga pada stabilitas ekonomi.
Syarat pemberhentian Presiden diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD NRI Tahun 1945. Paling tidak ada 3 alasan yang harus dipenuhi oleh MPR, jika akan memberhentikan Presiden. Pertama adalah alasan hukum. Alasan hukum di sini adalah terkait dengan dugaan Presiden telah melanggar hukum pidana, baik itu suap, korupsi, pengkhianatan terhadap negara maupun melakukan tindak pidana berat. Kedua adalah alasan moral. Alasan moral di sini adalah Presiden diduga telah melakukan perbuatan tercela (misdemeanor). Ketiga adalah alasan administratif, di mana Presiden dianggap tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.
Di antara tiga alasan pemakzulan itu, kemungkinan lawan politik Jokowi akan menggunakan alasan moral, yakni perbuatan tercela untuk memakzulkan Jokowi. Namun yang harus diingat, alasan perbuatan tercela ini juga harus disertai dengan argumentasi dan data yang kuat.
Kecurigaan mereka bahwa Jokowi telah bertindak curang dalam pemilu guna untuk kepentingan anaknya, Gibran Rakabuming Raka selama ini hanya sebatas kecurigaan semata. Mereka tidak punya data yang dapat dijadikan alat bukti untuk melengserkan Jokowi dengan alasan Jokowi telah melakukan keberpihakan terhadap salah satu pasangan Calon.
Yang harus diingat, proses pemakzulan ini bukan hanya proses politik semata, tetapi juga melalui proses hukum, di mana Mahkamah Konstitusi (MK) juga dilibatkan dalam proses ini. Sehingga alat bukti menjadi sangat menentukan dalam proses pemakzulan terhadap Presiden atau Wakil Presiden.