JAKARTA – Beberapa menteri dari kabinet Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah ramai diberitakan akan mundur dari jabatannya. Menteri-menteri yang dikabarkan akan mundur dari jabatannya adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, dan Sekretaris kabinet Pramono Anung.
Namun, inni tidaklah benar dan ketika ditelusuri hanya gerakan perorangan saja yakni enokom Faisal Basri. Menanggapi hal ini, Efriza pengamat politik Citra institute mengatakan, disinyalir, Faisal Basri sedang berjuang atas persepsi dirinya yang kecewa dengan kepemimpinan Presiden Jokowi.
Menurutnya, persepsi Fasial ini yang dilemparkan oleh dirinya ke publik, sehingga seolah menjadi gerakan moral. Efriza mengatkan, Faisalmelakukan itu jelas melihat kasus era kejatuhan Orde Baru, situasi di kementerian yang kecewa dengan pemerintah akhirnya pemerintahan orde baru jatuh.
“Sayangnya, Faisal Basri, seolah tak menyadari. Era Orde Baru kejadian menteri ekonomi Soeharto mundur karena kesadaran sendiri. Sementara ini, menteri-menteri Jokowi malah solid mendukung Pemerintahan. Menteri Sri Mulyani juga sudah membantah ia mundur, ia sedang bekerja,” jelas Efriza kepada Rupol.co.
Malah yang benar, Menteri-menteri Jokowi, mereka ingin bekerja dengan baik dan memberikan hasil terbaik untik masyarakat di akhir jabatan presiden Jokowi. Efriza menegaskan, jangan lupakan pula, meski PDIP tidak kompak dengan Presiden Jokowi, arahan dan peritah partainya masih sama untuk para menterinya membantu pemerintah hingga akhir pemerintahan ini, PDIP tetap ingin mengawal pemerintahan hingga transisi kepemimpinan berjalan dengan baik.
“Cawapres dari PDIP, Mahfud MD juga menyatakan andai pasangan Ganjar-Mahfud terpilih, ia tetap ingin menjadi Menkopolhukam sampai akhir pemerintahan ini. Jangan lupakan pula, pemerintah akan kehilangan legitimasinya jika masyarakat tidak mendukungnya. Sedangkan saat ini hasil banyak survei kepuasan kepada Pemerintahan ini masih tinggi sebesar 70 persen,” kata dia.
Sehingga, patut dipahami gerakan moral itu umumnya dilakukan oleh masyarakat, karena mengkritisi kinerja, kebijakan/keputusan pemerintah yang dinilai buruk, sehingga dampak positifnya tidak dirasakan yang ada malah rakyat sengsara, misalnya. Efriza menyebutkan, dari rakyat inilah, yang membuat kinerja pembantu pemerintah, merasa tidak optimal, beban di pikiran dan hatinya kepada rakyat itu yang membuat mereka mundur.
Dia menambahkan, jika mundur tak didasari oleh kesadaran dirinya, itu artinya ada tindakan pemaksaan. Hal itu malah membuat gerakan itu adalah sebuah gerakan provokasi kepada pemerintahan, seolah-olah mengatasnamakan rakyat, padahal memungkinkan hanya untuk kepentingan kelompok, orang lain, atau karena yang menganjurkan gerakan ini pro terhadap salah satu calon.
Singkatnya, gerakan ini bukan menjadi gerakan moral, tapi gerakan menciderai demokrasi, ketika kepuasan masyarakat masih tinggi diatas 70 persen, tapi narasi yang dibangun seolah-olah menghadirkan ketidakpuasan kepada pemerintah. Akan salah kaprah, jika gerakan ini dianggap aksi superhero, begitu juga jika menterinya mundur,” tutur Efriza.