JAKARTA – Pemilihan Umum (pemilu) serentak akan dilangsungkan pada 14 Februari 2024 di seluruh wilayah Indonesia. Dalam pemilihan ini, masyarakat ikut andil untuk menentukan nasib bangsa Indonesia lima tahun ke depan.
Namun, ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan di dalam bilik pemilihan suara. Salah satunya adalah menggunakan ponsel saat mencoblos baik itu memfoto surat suara yang dicoblos atau merekam pencoblosan itu sendiri.
Pasalanya ini hal yang dilarang dan tertuang dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Pengamat politik Citra Institute Efriza mengatakan, KPU tidak melarang pemilih membawa ponsel mereka.
Namun yang dilarang adalah tidak boleh merekam gambar, maupun memfoto, yang menunjukkan pilihan si pemilih, artinya dalam proses dibilik suara. Aturan ini jelas juga diatur bagi yang membantu pemilih disabilitas.
“Sanksinya adalah kurungan satu tahun penjara dan denda 12 juta sesuai Pasal 500 UU Pemilu,” tegas Efriza kepada Rupol.co.
“Jangan lupakan pula adanya seperti sanksi sosial di masyarakat langsung maupun tidak langsung di TPS, ditegur ditempat, diingatkan seperti karena hapenya terlihat menyala ditaro dikantong, itu malu loh, jika tak ingin bahasa Sarkas disebut memalukan,” tambahnya.
Dia mengingatkan, ketika sudah selesai memilih, jangan pula pemilih mengungkapkan apa yang dipilih, bahasa sarkasnya, rumpi pasca pemilu.
“Jadi rahasiakan pilihan kita. Sebab dalam proses pemilu itu ada unsur Rahasia. Rahasia Pilihan Pemilih adalah bagian dari enam asas pemilu yakni dari singkatan LUBER dan JURDIL,” kata dia.
Dia mengatakan, aturan ini sudah ditugaskan oleh PPS kepada KPPS. KPPS yang dekat bilik suara dan kotak suara, mereka yang berperan, mereka wajib mengingatkan si Pemilih, ia juga yang wajib mengamati proses dalam mencoblos dan memasukkan surat suara agar tidak tertukar karena lima surat suara berbeda.
Mengapa aturan ini penting? Sebab, saat ini tiga pasangan calon, maupun para caleg, memungkinkan sudah merubah cara pandangnya ketika keinginan untuk menang semata diotaknya. Mereka memungkinkan tidak lagi percaya dengan misalnya serangan fajar untuk melakukan money politik, tetapi diubah teknik money politiknya dengan bukti riil di bilik suara, kecenderungan ini semakin memungkinkan terjadi karena adanya kemajuan teknologi baik internet dan metode pembayaran via transfer.
“Jangan lupakan pula, strategi calon, yang memagari Timses, mereka dikasih budget segini disuruh pastikan misalnya 100 orang pemilih di TPS ini, ini, dan ini, jika kurang dari 100 orang yang memilih dia, maka timses akan dimarahi. Mekanisme ini pembuktiannya tentu di bilik suara. Strategi ini banyak dilakukan, meski tak terungkap dipermukaan,” jelas Efriza.
“Begitu juga kita harus melihat sisi pemilih, apalagi yang fanatik terhadap salah pasangan calon presiden maupun di Pileg. Mereka dengan membanggakan diri, semuanya mau diinformasikan di dunia maya berupa media sosial, seperti status WA, IG, X, FB, tiktok, dsb. Mereka merasa bangga, tanpa sadar asas Rahasia, telah hilang,” tambahnya.
Jika dulu orang pamer jari warna unggu, karena telah mencoblos, sekarang mereka bisa dengan bangga ingin menunjukkan siapa yang mereka pilih. Ini adalah perilaku yang bisa saja sadar dan bisa juga tidak disadarinya, karena kurangnya pemahaman dirinya atas proses pemilu maupun etika bersosial media.
Etika bersosial media kita masih rendah, terkesan dari melek mata sampai tutup mata perlu diinformasikan kepada pemirsa.