JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan pembentukan Undang-undang untuk mengubah ketentuan ambang batas 4 persen melalui revisi UU Pemilu. Hal ini karena MK menilai ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4 persen suara sah nasional yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.
Hal ini kemudian ditanggapi oleh pakar hukum tatanegara Universitas Negeri Surabaya (UNS) Hananto Widodo. Dia menanyakan kembali menurut MK, bagaimana yang sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat.
“Lah menurut MK bagaimana yang sesuai dengan kedaulatan rakyat? Artinya tidak perlu parlementary threshold?,” ujarnya saat dihubungi oleh Rupol.co, Kamis (29/2/2024).
Adanya pertanyaan tersebut membuat Hananto menegaskan bahwa MK tidak konsisten. Bahkan dia mengeluarkan pertanyaan lainnya yakni kenapa dengan Presidential Threshold beda?
Menurutnya, parlementary ini merupakan wilayah dari pembentukan UU atau open legal policy. Yang mana dikatakan Hananto, kewenangan penuh dari pembentuk UU.
Sebab prinsip kedaulatan juga ada batas-batasnya. Sehingga dia menegaskan bila batas 4 persen itu bukan termasuk kewenangan MK.
“Itu bukan kewenangan MK. Bukan menyalahi, tetapi MK tidak konsisten,” tegasnya.
Dia menambahkan, kewenangan untuk ini adalah pembentuk UU yakni pemerintah dan DPR. Hananto mengatakan, karena pada presedential thershold MK mengatakan bahwa itu adalah kewenangan pembentuk UU.
Thanks for sharing. I read many of your blog posts, cool, your blog is very good.