Oleh: Efriza, pengamat politik Citra Institute
JAKARTA – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) baru-baru ini menetapkan ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari dengan sanksi etik terkait dalam penerimaan pencalonan Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden (cawapres).
Jika melihat pola umum sanksi yang diberikan DKPP adalah hal yang lebih personal. Di mana artinya tidak menjadi masalah atas institusinya.
Ini pun kemudian membuat jadi tidak ada yang perlu dianulir dari keputusan KPU itu. Perihal ini pun, menunjukkan keputusan DKPP pula yang tidak menganulir proses pencalonan Gibran sebagai cawapres.
Bawaslu pun juga ikut merespon hal serupa yang tidak perlu sampai menganulir salah satu salah satu pasangan calon, karena keputusannya tidak mengarah ke sana. Artinya, kesalahan itu karena kurang cermatnya seluruh personil KPU untuk mengambil keputusan bersama. Utamanya Ketua, juga kepada anggota-anggotanya mendapatkan peringatan keras.
Bahkan ini pun tidak memengaruhi keputusan Gibran. Hanya saja pencalonan Gibran, terkait etik telah menyandungnya dua kali, sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran kode etik atas Ketua MK sekarang Ketua KPU. Meski begitu, proses pencalonan Gibran tetap mulus dalam dua konteks dari hasil sidang kode etik di MK dan kode etik di DKPP saat ini.
Ini artinya masyarakat tetap harus menghormati pasangan Prabowo-Gibran, meski ia secara moral dan etis tersandung dan terbukti bersalah. Ini menunjukkan pasangan tersebut memiliki dua titik noda soal etis dan dibalik etis itu adalah soal keputusan ataupun regulasi yang memberikan kesan MK dan KPU telah memberikan “dua karpet merah” kepada Gibran yakni awalnya untuk memenuhi syarat cawapres dan terakhir untuk pencalonan pasangan capres-cawapres Prabowo-Gibran.