Oleh: Efriza, Pengamat Politik dan Ketua KPPS Pemilu 2024 Depok
JAKARTA – Kerja KPPS itu luar biasa berat, kematian menyertai petugas KPPS hanya dianggap resiko kerja. Atau bakti kepada negara, maupun puncak pelayanan tertinggi bagi negaranya. Jika berpikir seperti itu, nurani kita sepertinya mati. Kepekaan sosial kita hilang.
Tak terdorongkah hati dan pikiran kita berpikir, Demokrasi diwujudkan dalam pemilu sederhananya sebagai pesta rakyat bukan iringan jenazah. Pemilu adalah partisipasi rakyat, rakyat memberikan legitimasi untuk presiden dan wakil rakyatnya, jangan sampai legitimasi bukan lagi tanda jari unggu karena celupan tinta tapi disertai adanya papan nisan dari si pemilih untuk negeri ini.
Apa yang salah? Yang salah adalah cara berpikir kita. Kita menganggap Pemilu Borongan Lima Surat Suara adalah hal benar, terkait coattail effect, atau efek ekor jas, maupun hubungan yang selaras antara keterpilihan caleg di parlemen dengan keterpilihan presiden sebagai konsekuensi sistem presidensial. Sederhana cara berpikir kita, tapi nyatanya, duka pemilu sejak pemilu 5 kotak suara pada Pemilu Serentak 2019 lalu, hal ini menjadi sekadar lumrah.
Kita juga berpikir sederhana, kematian anggota KPPS, karena si calon KPPS, dianggap tak jujur soal dirinya punya penyakit bawaan atau kormobid. Ada juga yang menyalahkan soal abainya pelayanan medis di lokasi TPS, ada pula yang menyalahkan gaya hidup si KPPS.
Disamping menyalahkan ada yang sederhana berpikir, kasih saja uang kematian yang besar, kasih saja asuransi kesehatan atau ketenagakerjaan, atau buatkan BPJS kesehatan. Terkesan kematian si KPPS, bukan adanya isak tangis dan perasaan duka karena kehilangan orang yang dicinta dari keluarga besarnya. Sebagai sebuah kesedihan yang bisa lama waktunya untuk diikhlaskan keluarganya, memungkinkan seorang anak menjadi yatim, piatu, atau yatim dan piatu, atau kehilangan generasi keturunannya.
Ada pula berpikir sederhana jadikan anak muda sebagai penyelenggara. Mereka tak berpikir Anak Muda, kepedulian dirinya atas tanggung jawab terhadap negara masih kecil. Jadi memungkinkan penyelenggaraan, kurang cermat terhadap detail.
Adapula yang berpikirnya rumit, diluar nalar, itu yang meninggal petugas KPPS karena diracun, makanya jangan beli dan menerima makan dari kuar, jangan percaya orang luar. Terkesan antar sesama manusia di lingkungan sekitar adalah “bara dalam sekam”, saling berkonflik langsung maupun tak langsung. Padahal bangsa kita sangat menghargai sesama, saling menyayangi, dan kita sudah lama tenggang rasa sesama dan bergotong royong.
Pertanyaan apa yang salah ini yang malah tak terjawab, karena kita kurang cermat fokus terhadap proses penyelenggaraannya. Yang salah itu adalah pemilu serentak dengan lima kotak, lima surat suara borongan. Pemilu borongan lima surat suara memang benar, baik untuk membangun hubungan legislatif dan eksekutif dalam bingkai sistem presidensial. Hanya saja diperlukan pembenahannya.
Pertama, sepertinya kita harus memisahkan pemilu legislatif dengan pemilu eksekutif. Jadi dua model diterapkan dilevel pusat dengan memungkinkan mekanismenya, pilpres dahulu baru legislatif (DPR dan DPD) ditingkat nasional. Kemudian, pemilu tingkat daerah, eksekutif dahulu (Gubernur, Bupati, dan Walikota) baru kemudian pemilu legislatif untuk anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD Kota. Jadi ada empat kali pemilu.
Pemisahan ini penting karena pemilu legislatif, lambat-laun dibarengi pilpres, malah tidak ada yang mengenal calon anggota legislatifnya yang bakal mewakili mereka di parlemen nasional dan lokal, karena mereka kalah hingar bingar dengan Pilpres, plus mereka diwajibkan pula memenangkan capres yang diusung partainya malah konsekuensinya jika ia tak bekerja maksimal hanya untuk caleg dirinya andai terpilih malah diajukan untuk tak dilantik ke KPU sebab mereka ada perjanjian di atas materai dengan DPP nya. Ini tentu dilema. Untuk DPD RI malah lebih konyol, jika dianggap keterpilihan artis Komeng, karena fotonya nyeleneh, padahal masyarakat memungkinkan memilih Komeng karena tak kenal siapa para caleg, bahkan nyatanya dibanyak TPS surat C-Hasil Pleno tak ada ditandangani saksi, ini semua terjadi karena institusi DPD bahasa Sarkasnya, “ada dan tiada mungkin juga tak dirindukan.”
Kedua, alokasi jumlah kursi yang banyak juga menjadi masalah dalam proses peghitungan suaranya, sebab alokasi kursi yang banyak turut didukung dengan sistem kepartaian multipartai yang ekstrem hal mana jumlah partainya selalu banyak. Bayangkan lembaran yang harus dipajang, diisi masing-masing perlembar untuk partai dan caleg, belum ditambah surat suara sah dan tidak sah, disertai pendataan DPT, sekitar 20 lembar kertas penghitungan c-hasil dengan ukuran kertas A-0 kertas yang amat besar dan banyak. Artinya untuk legislatif saja masing-masing DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kota sebanyak 60 lembar, sedangkan DPD sebanyak 7 Lembar, dan Pilpres 3 lembar, total sebanyak 70 lembar. Ini menunjukkan legislatif sudah tak dikenal, amat berlarut-larut, menyebabkan faktor krusial terjadinya proses begadang dari sore hingga menjelang subuh. Bahkan, proses yang berbelit, kecot di perhitungan suara, bahkan terjadinya polemik adalah di Penghitungan Suara Legislatif DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kota, artinya sudah tak gegap gempita kampanye legislatifnya tapi justru merepotkan karena menjadi tempat terjadinya “penyakit” dari awal menuju kematian anggota KPPS.
Ketiga, proses pemilu juga menjadi melelahkan karena jumlah masyarakat dalam satu lingkup TPS sebanyak maksimal 300 orang. Bayangkan artinya saat penghitungan harus dihitung 300 daftar pemilih tetap dikali 5 surat suara, sekitar maksimal 1500 surat suara dihitung.
Persoalan ini juga akan menjadi masalah terkait hal ini: pertama, lima surat suara yang diterima, dengan pemilu legislatif yang kalah pamor dengan Pilpres menyebabkan masyarakat tidak mengenal calegnya, ditambah pula surat suara panjang dan lebar karena jumlah partai yang banyak dan disertai pula alokasi kursi yang masih tinggi, akhirnya banyak caleg, banyak partai, banyak surat suara legislatif diterima. Tetapi tak dikenal oleh pemilih, menyebabkan saat memilih butuh waktu 5-10 menit dalam memilih. Bahkan, saat penghitungan ditenggarai banyak ditemukan surat suara tak di coblos atau malah dicoblos semuanya, yang diyakini Golput ini terjadi karena kecewa akibat tak kenal bukan karena kecewa yang didasari kritis.
Dan, jangan lupakan pula, ketika prosesnya berlarut-larut banyak ditemukan praktiknya melewati waktu pukul 13.00, kenapa semuanya ini terjadi karena pemungutan suara model borongan 5 surat suara menyebalkan dan melelahkan.
Jadi apa yang harus diperbaiki, kesimpulannya, model sistem pemilunya, alokasi jumlah kursinya, jumlah pemilih dalam satu TPS perlu disederhanakan, juga partai perlu disederhanakan dengan syarat yang lebih besar. Sebab percuma banyak partai tapi tak maksimal, mending dibuat sistem multipartai sederhana hanya dengan persyaratan yang berat untuk mendirikan partai. Ini dilakukan bukan melanggar hak asasi manusia berorganisasi tapi agar partai yang hadir benar-benar siap, serius, dengan dikenal oleh masyarakat, bila perlu dibuat sistem berjenjang model kompetisi layaknya sepakbola, jika partai baru biarkan dulu berjuang ditingkat daerah ketimbang langsung menuju nasional, dan perlu pula adanya degradasi dan promosi bagi dinasional yang gagal Parliamentary Threshold (PT) didegradasi untuk ikut pemilu tingkat lokal saja dan yang berhasil sukses di lokal bisa naik promosi ke tingkat nasional.
Mungkin saja usulan ini dianggap nyeleneh, tetapi lebih baik nyeleneh namun fokus kepada apa yang salah, bukan malah mencari solusi untuk sekadar mempersiapkan resiko sebagai penyelenggara pemilu kpps saja. Ingat pemilu itu untuk rakyat, petugas KPPS adalah melayani masyarakat dan adalah masyarakat juga. Jadi semestinya, jangan biarkan mereka bekerja sampai dini hari, lalu dianggap resiko kerja, dibuatkan adanya surat dispensasi tak masuk kerja, selesai. Maupun andai meninggal adanya santunan kematian selesai. Sebaiknya kita mulai berpikir pemilu tak boleh ada lagi korban jiwa dari petugas KPPS, jadi mari kita pikirkan nihilkan bukan sekadar ini adalah resiko kerja dan resiko perjuangan, atau jumlahnya masih hitungan jari. Pemilu adalah sarana demokrasi, rakyat memberikan hak suaranya, bukan menyertakan nyawanya.