JAKARTA – Perolehan suara Ganjar-Mahfud di Pilpres 2024 beradai diposisi buncit atau terbawah di antara dua paslon lainnya. Namun suara PDIP atau partai pengusung keduanya justru berada di urutan teratas.
Ini pun terjadi pada PKB yang memiliki perolehan suara lebih tinggi dibandingkan capres-cawapres yang diusungnya yakni Anies-Muhaimin. Apa yang terjadi dalam pemilu 2024 kali ini?
Hasil ini pun menjadi pertanyaan banyak elite politik. Menanggapi hal ini, dosen ilmu pemerintahan Unpam Efriza mengatakan, ada beberapa alasan terkait hal itu.
Di mana alasannya berhubungan dengan masyarakat, yakni ada kesadaran politik yang tinggi dari masyarakat. Ini menunjukkan masyarakat memahami jika ingin satu putaran maka mereka harus membuat pasangan salah satu calon mendapat suara di atas 50 persen.
Kemudian dikatakan Efriza bahwa masyarakat sekarang ini memberikan hukuman kepada para capres-cawapres dengan bukti nyata perbedaan suara partai dan capres yang diusung.
“Dua alasan diatas menunjukkan, rakyat sedang menunjukkan mereka adalah pemilik hak suara. Suara rakyat adalah milik pribadi masing-masing individu dari rakyat keseluruhan,” kata Efriza kepada RUpol.co, Senin (19/2/2024).
“Nah dua jawaban berikutnya ini menyasar ke dalam internal partainya. Pertama, Ini membuktikan dan semestinya ada evaluasi dari partai terhadap kadernya. Sebab memungkinkan para caleg lebih mengkampanyekan dirinya ketimbang capres yang diusungnya. Makanya pilihan capres di pilpres berbeda dengan pilihan caleg di pileg,” tambahnya.
Efriza mengatakan yang kedua juga perlu dicek dan dievaluasi dilapangan konstituen utamanya pasangan nomor 01 dan 03 ternyata terjadi peralihan dukungan suara, utamanya partai-partai pendukungnya sebab sebelum maju kekuatan Ganjar sebesar 33 persen dari dua partai peraih parliamentary threshold, sedangkan kekuatan Anies sebesar 37 persen dari tiga partai.
Ketiga, ini membuktikan konstituen partai tidak menjadikan pilihan partai atau caleg sama dengan pilihan capres-cawapres. Keempat, evaluasinya adalah kepada para capres-cawapres yang diusungnya, maupun tim suksesnya, mereka ternyata sering menyerang pemerintah, berbicara keras, malah bukan dianggap edukasi bagi masyarakat malah membuat masyarakat jengah dan akhirnya menghukum mereka.
“Disamping itu, ini juga membuktikan metode pass marketing dengan menggunakan influencer berupa tokoh-tokoh nasional maupun artis yang sama-sama kuat, ternyata influencer 01 dan 03 jika tidak bisa dianggap zonk setidaknya tidak bisa menarik massa, artinya infulencernya bukan berkategori patron-klien karena massanya disinyalir mangkir,” tuturnya.