JAKARTA – Usai pemilihan umum (Pemilu) 2024, setiap daerah di Indonesia akan melaksanakan pemilikan kepala daerah (Pilkada). Salah satunya adalah Ibu Kota Jakarta.
Banyak partai yang mencalonkan pasangan jagoannya untuk duduk menjadi DKI 1. Sebab, DKI bisa dikatakan seperti halnya perebutan kursi presiden, namun bedanya ini dalam skala provinsi yang berada di pusat pemerintahan Indonesia.
Nama-nama calonnya pun sudah mulai ramai seperti Ridwan Kamil atau Kang Emil yang digadang-gadang akan melaju ke DKI 1 setelah sebelumnya menjabat Gubernur Jawa Barat (Jabar). Namun apakah Ganjar Pranowo, mantan Gubernur Jawa Tengah (Jateng) yang juga ikut menjadi paslon nomor 02 di kursi Indonesia 01 juga melaju di DKI?
Pernyataan ini ditanggapi dosen pemerintahan Unpam Efriza. Menurutnya, jika ganjar diutus sebagai “petugas partai”, ataupun Anies kembali maju di DKI 1 dengan dasar keinginan sendiri narasinya mengabdi untuk negara, maka itu adalah cara berpolitik dengan istilah politik turun level.
“Bila ini terjadi, maka mereka ambisius dan disinyalir kurang tahu malu dan kurang beretika,” ungkap Efriza kepada Rupol.co, Minggu (25/2/2024).
Dia mengakatakn, jika dipaksakan bisa saja. Hanya kategori mereka hanya sebagai level eksekutif daerah, kelasnya hanya Gubernur.
“Malah masyarakat terbangun opini, oh memang tak layak berkategori presiden, levelnya hanya Gubernur,” jelas dia.
Pengamat politik ini menjelaskan, hal ini harus dibedakan, dengan Nurmahmudi Ismail, dia memang bekas menteri kehutanan dan perkebunan di era Gusdur, yang kemudian mencalonkan diri dan terpilih sebagai walikota Depok di Pilkada 2005. Langkah Nurmahmudi Ismail, bisa dimaklumi meski turun jabatan, hanya saja soal Menteri berkategori hak prerogatif presiden, bukan pilihan dari rakyat.
“Jadi andai mau majukan bekas capres Ganjar, atau Anies, saya lebih memilih mending ajukan AHY atau Tri Rismaharini. Meski memungkinkan saja mengajukan Ganjar atau Anies, tapi sebaiknya dia menunggu 2029 lagi, maju kembali di Capres, ketimbang menurunkan kelasnya bahasa Sarkas menjadi ‘recehan’ mengejar politik pragmatis turun jabatan dari Capres ke Gubernur,” kata Efriza.
“Andai diajukan juga dia menjadi Gubernur, sebaiknya masyarakat tidak memilih dia kembali jika diajukan sebagai capres di Pilpres 2029, misalnya ya. Jika diajukan kembali, karena gaya berpikirnya hanya ambisi kekuasaan bukan benar-benar ingin menunjukkan keinginan pengabdian dengan dasar adanya level, harga diri, misalnya,” tuturnya.