JAKARTA – Lembaga survei menjadi salah satu acuan untuk mengetahui elektabilitas calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang maju dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Namun, banyak hal yang membuat data survei palsu.
Bahkan metodologi yang digunakan digadang-gadang tidak sesuai dengan yang seharusnya. Ini kemudian menjadi catatan tersendiri oleh para pengamat politik.
Efriza dari Citra Institute mengatakan, dengan menelisik kembali pengalaman Pilpres 2014 lalu, hasil survei kontroversial pernah terjadi ytamanya pada saat atas hitung cepat. Dia menyebutkan ada empat lembaga survei yang berbeda kala itu sehingga menjadi polemik dimasyarakat.
“Hasil yang utama atas kasus itu bukan unsur pidana tang terjadi, tapi ketidakpercayaan publik terhadap lembaga survei tersebut sehingga perlahan lembaga survei itu meredup,” kata dia.
Efriza menjelaskan, jika ditelusuri dari UU Pemilu, pengaturan survei lebih dirinci terkait hasil survei memasuki pemilu. Ini dikatakan dia, seperti larangan pemilu di masa tenang, juga berupa pengaturan penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian Barat.
“Persialan survei yang diatur dalam UU Pemilu memang sumber dana, metodologi yang dilakukan dan lagi terkait hasil penghitungan cepatnya. Hanya saja rincian inj tidak terlalu detail diatur rinci,” ungkap Efriza.
Dia mengatakan, hal ini menunjukkan. Adanya kepercayaan tinggi terhadap lembaga survei. Sehingga patut diingatkan lembaga survei bagian dari proses politik juga adalah bagian partisipasi politik masyarakat terkait pendidikan politik bagi pemilih.
Efriza menjelaskan, setiap lembaga survei wajib melaporkan sumber anggaran yang diterima. Di mana hasil dana rilis survei, kata Efriza memang diatur juga dikuatkan dengan pelaksanaan kegiatan penghitungan cepat tersebut wajib diaudit.
“Ini menunjukkan kredibilitas survei itu tergantung dari lembaga itu sendiri untuk berasi transparan dnan berani menjelaskan prosesnya,” kata dia.
“Lembaga survei kredibel, lembaga survei besar, diyakini sudah dapat memilih dan memilah mengenai anggaran dana, sehingga terwujudnya private survei yang dibiayai oleh kandidat dan publik survei yang didanai oleh orang lembaga yang tidak punya kepentingan untuk pemilu tidak tercampur aduk,” tambahnya.
Efriza mengatakan, ini menunjukkan bahwa lembaga survei memang memungkinkan dan dikhawatirkan beririsan bahkan tidak bisa. Hal itu juga terlepas dari kepentingan pemilu, seperti menjadi bagian dari konsultan pemilu seperti menjadi bagian dari konsultan pemilu untuk pasangan kandidat.
Oleh sebab itu, Efriza menjelaskan jika situasinya seperti ini, lembaga survei yang kredibel itu memahami tidak akan menghancurkan nama lembaga surveinya hanya untuk kepentingan pragmatis semata. Hal itu diyakini mereka akan bertindak benar dalam proses metodologis maupun penyampaian hasil surveinya.