Jakarta – Anggota DPRD DKI Jakarta, Elva Farhi Qolbina mendorong Pemprov DKI Jakarta kamera pengawas (CCTV) di seluruh wilayah untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak yang kerap terjadi.
“Saya sarankan Pemprov DKI Jakarta untuk menambah CCTV demi keamanan dan ketertiban,” kata Elva.
Masukan ini untuk meminimalisir kekerasan terhadap perempuan dan anak, mengingat kasus tersebut di Jakarta kerap terjadi.
Elva menuturkan masih banyak lorong dan gang di kawasan DKI Jakarta yang kurang penerangan dan CCTV sehingga bisa membahayakan pengguna jalan terutama dari kalangan perempuan dan anak.
“Banyak perempuan bekerja turun di depan gang tapi penerangannya kurang sehingga bisa terjadi kejahatan seksual, kan membahayakan nyawanya juga,” jelasnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta, Mochamad Miftahulloh Tamary membeberkan berdasarkan data dari Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi DKI Jakarta sepanjang tahun 2023 terdapat sebanyak 1.682 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, dengan rincian anak perempuan sebanyak 665 kasus, anak laki-laki 286 kasus, dan perempuan dewasa 731 kasus.
Sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta menambah pos pengaduan kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi 35 unit sebagai bentuk pemberantasan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Tahun 2024 telah dilakukan penguatan terhadap akses penerimaan pengaduan di Pusat PPA Provinsi DKI Jakarta melalui penambahan pos pengaduan menjadi 35 pos pengaduan,” katanya.
Selain itu, Dinas PPAPP DKI dalam upaya memenuhi hak korban juga menambah sumber daya manusia (SDM) untuk memberikan pelayanan profesional dan penguatan jaringan berkolaborasi dengan mitra.
“Jadi memang upaya Dinas PPAPP dalam memberikan pelayanan penanganan pada perempuan dan anak korban kekerasan yang dilakukan melalui Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) DKI Jakarta,” ujar Miftah.
Layanan yang diberikan Pusat PPA DKI Jakarta terdiri dari layanan penerimaan pengaduan, layanan hukum, layanan psikologi, layanan pendampingan korban dan layanan rujukan medis, rumah perlindungan sementara, dan rujukan rumah aman korban kekerasan. Semua itu diberikan secara gratis.
Selain itu, Miftah menyebut bahwa pengelolaan layanan pusat PPA tidak hanya dilakukan oleh PNS saja, tetapi layanan juga dilakukan oleh tenaga-tenaga kompeten sesuai bidang layanannya seperti tenaga ahli pemenuhan hak korban perempuan dan anak dan tenaga ahli bidang teknologi informasi.
“Kemudian juga dari advokat, psikolog klinis, manajer kasus, pendamping korban, pendamping korban di rumah perlindungan sementara (RPS), konselor, tim legal, tim unit reaksi cepat (URC), dan pusat layanan (call center),” tutupnya. (WSH)