JAKARTA – Pasangan calon (paslon) capres-cawapres, nomor urut 2 dan 3 masing-masing masih menduduki jabatan yang mereka emban. Di mana saat ini Mahfud MD akan mundur dari jabatannya sebagai Menkopolhukam.
Sedangkan Gibran sebagai Wali Kota Solo dan Prabowo sebagai Menhan belum menyatakan akan mundur dari jabatannya. Namun, dalam pencalonan ini, apakah mereka harus turun dari jabatan yang kini di emban?
Ternyata hal itu tidaklah perlu, sebab para paslon ini sebagai pejabat negara bisa menggantinya dengan cuti. Di mana ini tertuang dalam Undang-Undang yang memang mengizinkan para pejabat tidak mundur dari jabatannya ketika maju dalam Pemilu.
Pengamat politik Efriza dari Citra Institute mengatakan, desakan mundur yang menjadi perbincangan saat ini karena kekhawatiran Ganjar Semata. Sebab menurut Efriza, Ganjar melihat mereka yang menjabat masih bisa berkinerja baik dan mendapatkan sentimen positif.
“Sedangkan Ganjar sudah tak lagi bekerja, bahasa Sarkasnya Ganjar sudah menjadi ‘pengangguran politik’. Selain tak lagi menjabat sebagai pejabat negara, hasil kinerjanya selama 10 tahun sebagai Gubernur Jawa Tengah malah terjadi pro dan kontra maksudnya tak satu suara ia dianggap Gubernur Jawa Tengah yang berhasil,” ungkapnya kepada Rupol.co, Rabu (24/1/2024).
Dia mengatakan, saat ini Ganjar hanya bisa berkampanye, bercerita kinerja dan hasil kinerjanya saja, tanpa bisa memperbaiki hasil kinerjanya. Ini tentu merisaukan Ganjar, sebab elektabilitas dirinya hanya bisa didapat dengan “jualan janji” apa yang bisa dikerjakan nanti jika jadi presiden.
“Sedangkan Prabowo masih punya dua media penilaian dari publik, pertama dari kinerjanya yang masih dapat dinilai karena masih menjabat dan kedua, ya dari janji kampanyenya,” ujar pengamat yang juga seorang dosen ini.
Saat ini, di pemerintahan ada dua tokoh yang masih menjabat yakni Prabowo dan Mahfud MD, keduanya jika merujuk UU tak perlu mundur. Jika keduanya berkinerja buruk juga akan direshuffle oleh Presiden Jokowi.
Efriza menegaskan, Presiden Jokowi pasti akan berpikir kinerja pemerintahan harus berjalan optimal, buat apa mempertahankan orang berkinerja buruk, tentu dasar reshuffle adalah salah satunya hasil survei berupa kepuasan masyarakat terhadap menteri-menteri di kabinet ini, dan juga evaluasi atas kinerja yang dikerjakan oleh para menteri-menterinya.
“Faktanya kinerja Mahfud MD sebagai Menkopolhukam bernilai positif sebesar 79,3 persen, kementerian yang dipimpinnya juga dinilai positif dalam kinerjanya. Jangan lupakan pula Prabowo juga mendapatkan respons kepuasan masyarakat tinggi di atas 80 persen,” kata Efriza.
“Ini artinya kedua menteri ini mendapatkan poin positif, masa disuruh mundur, undang-undang saja masih membolehkan, masyarakat juga masih menginginkan mereka bekerja memimpin kementeriannya,” tambahnya.
Lalu pertanyaannya, apakah kita melarang orang baik yang masih mau bekerja untuk kepentingan masyarakat. Pertanyaan berikutnya, apakah kita juga malah mengganti dan mengabaikan orang-orang yang kinerjanya masih direspons memuaskan oleh publik.
Efriza mengatakan, tentu saja jika hal itu dilakukan akan janggal, yang ada malah dianggap arogan, ini namanya blunder. Bayangkan jika Presiden Jokowi melakukan itu dengan melakukan reshuffle, bukan saja pemerintahan ini akan rugi, masyarakat juga dirugikan malah yang terjadi pemerintahan Jokowi akan di demo berjilid-jilid oleh publik.
Pemerintahan Jokowi juga yang akan malah mendapatkan penurunan drastis respons kepuasan masyarakat kepada kinerja Pemerintah. Jadi jika usulan Ganjar dan PDIP dianggap baik, maka solusinya harus merevisi undang-undangnya, menjadi misalnya semua pejabat negara yang sudah ditetapkan oleh KPU sebagai capres dan cawapres wajib mengundurkan diri, nah itu baru sebuah konsep berkeadilan dalam bernegara.
“Namun tentu saja, bukan sekarang merevisi UU, tetapi untuk Pemilu 2029 ke depannya,” kata Efriza.