JAKARTA – Apakah presiden boleh melakukan kampanye untuk pasangan calon (paslon) yang tengah maju ke pemilihan Presiden (pilres)? Pertanyaan ini menyeruak ke permukaan setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa presiden boleh berkampanye mendukung paslon asal tidak menggunakan uang negara.
Hal ini kemudian membuat pakar hukum dan pengamat politik angkat bicara. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Negeri Surabaya Hananto Widodo dalam UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu pasal 299 mengaskan bahwa presiden dan wakil presiden boleh berkampanye.
“Secara aturan dalam UU Nomor 17/2017 tentang Pemillu diperbolehkan presiden berkampanye,” jelas hananto kepada Rupol.co, Rabu (25/1/2024) malam.
Dia mengatakan, meski secara aturan diperbolehkan, presiden yang berkampanye tidaklah boleh menggunakan fasilitas negara. Hananto dengat tegas menyatakan bahwa aturan dalam UU sudah sangat jelas.
Menurutnya, meski aturan jelas memperbolehkan, presiden boleh menggunakan atau tidak hak untuk berkampanye tersebut. Bahkan presiden boleh berkampanye untuk semua paslon atau memilih salah satunya.
“Itu bisa disepakati, asal roda pemerintahan tidak terganggu. Ada pertanyaan yang menggagu menurut saya, kampanye sudah berjalan lama, tapi kenapa Presiden Jokowi baru melontarkan hal tersbut,” kata Hananto.
Pertanyaan ini pun menjadi salah satu tanda tanya yang membuat masyarakat penasaran dengan tindakan mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Menanggapi hal ini, Efriza pengamat politik dari Citra Institute mengatakan jika dicermati memungkinkan Presiden memang merespons pernyataan sekaligus sikap arogan dari nada tantangan Ganjar yakni Presiden Jokowi lebih baik mendeklarasikan diri mendukung salah satu pasangan calon.
Menurutnya, saat itu, Ganjar tak senang melihat Jokowi makan malam bersama menterinya yang juga capres yakni Prabowo. Akhirnya pernyataan itu dilontarkan Ganjar.
“Beberapa waktu kemudian, PDIP dan Ganjar menganjurkan pasangan capres dan cawapres untuk mundur dari jabatannya sama seperti Ganjar dan Anies yang ‘pengangguran politik’ karena selesai masa jabatannya,” ungkap Efriza.
Dia mengatakan, Jokowi ditenggarai ingin memberikan materi pendidikan politik semata dari komentarnya, sekaligus psywar, mengenai Presiden dapat memihak dan berkampanye. Pendidikan politik ini dilakukan diitengah isu para pejabat negara sebaiknya mundur jika jadi capres dan cawapres, padahal UU membolehkan pejabat negara tersebut untuk sekadar memilih cuti dengan tidak menanggalkan jabatannya.
“Pernyataan ini memang sensitif dan berbahaya, namun ini juga adalah nilai pendidikan politik kepada masyarakat, karena memang diatur dalam Pasal 299 dan pasal 300 UU Pemilu,” kata Efriza.
“Ini juga memungkinkan sebuah pembelajaran kepada Ganjar dan PDIP, biar mereka belajar kembali akan aturan di UU Pemilu. Sebab selama ini mereka menarasikan Presiden tidak netral, presiden berpihak, tidak etis, padahal itu semua dalam UU Pemilu membolehkan bahwa Presiden boleh berkampanye dan memihak. Sebab, memang Presiden Jokowi bukan nonpartai, Jokowi sebagai Presiden juga adalah anggota PDIP,” lanjutnya.
Namun catatannya, hanya saja, saat ini posisi Jokowi memang sebagai anggota PDIP, tapi keberpihakannya disinyalir tidak kepada Ganjar yang diusung oleh PDIP. Sehingga narasi sewot Ganjar disampaikan agar Presiden Jokowi segera menyampaikan deklarasinya kepada salah satu pasangan calon.
Meski Presiden Jokowi menyatakan bahwa Presiden dapat memihak dan berkampanye, Namun sampai sekarang Jokowi tak pernah secara gamblang menyatakan dukungannya untuk salah satu pasangan capres-cawapres di Pilpres 2024. Bahkan, Jokowi turut menyampaikan kampanye termasuk hak demokrasi dan hak politik setiap warga, termasuk Presiden dan para menteri, ini diatur dalam undang-undang.
“Jadi nilai dari lontaran Jokowi terkait momentumnya kenapa sekarang, bisa saja diartikan sebuah pendidikan politik, psywar, dan sekadar balasan komentar Ganjar semata yang disampaikan oleh Presiden,” tutur Efriza.
Dia menambahkan, memungkinkan pula, Jokowi sudah amat kesal, karena sekarang ini Pilpres 2024 tanpa petahana. Tetapi kenapa kedua capres bukan berlomba adu gagasan malah mengkritisi Jokowi, seolah Jokowi sebagai petahana, penantang di Pilpres. Jadi, memungkinkan Jokowi sekadar memberikan komentar balasan ringan saja, agar kedua kandidat mulai mengecek dan membaca UU Pemilu kembali.