JAKARTA – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memperhatikan dengan seksama jalannya Debat Calon Presiden (Capres) khusus mengenai pendidikan Minggu, 4 Februari 2024.
Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim menyatakan bahwa sejauh ini gagasan pendidikan ketiga Capres masih bersifat _gimmick_ dan normatif saja.
“Menyimak debat Capres isu pendidikan, P2G menilai belum menyentuh persoalan fundamental pendidikan nasional,” katanya.
Satriwan menyayangkan bahwa ketiga Capres belum memperhatikan data-data riil aktual dan belum menawarkan solusi kongkrit yang menunjukan ragam masalah kualitas pendidikan Indonesia.
Hasil Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) tahun 2022, terungkap fakta bahwa 1 dari 2 anak Indonesia belum mampu mencapai kompetensi minimum literasi dan 3 dari 4 anak Indonesia belum mencapai kompetensi minimum numerasi.
Yang lebih menyedihkan, skor hasil PISA Indonesia 2022 yang terus merosot tajam. Skor Numerasi Matematika Indonesia (366) sama dengan Palestina yang kondisinya jauh lebih tidak stabil karena sekolah mereka porak poranda akibat perang. Skor Numerasi tersebut bahkan menjadi yang terendah sejak 2006.
“Belum ada tawaran perbaikan kongkrit dan signifikan mengenai problematika mendasar rendahnya literasi dan matematika anak Indonesia,” lanjut Satriwan.
Satriwan menuturkan para Capres juga tidak menyinggung bagaimana peringkat Indeks Kompetitif Global Indonesia. Indeks ini sangat berkorelasi dengan pendidikan, sebab bagaimana kebijakan pendidikan nasional akan menentukan seberapa kompetitif peserta didik sebagai sumber daya manusia Indonesia ketika bersaing secara global nanti.
Data Global Competitive Index (GCI) 2023, Indonesia belum bisa melampaui posisi Malaysia (27), Thailand (30) dan Singapura (4).
“Dalam GCI, Indonesia memang melompat 10 peringkat, namun sayangnya belum bisa menyalip tetangga sesama Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand dan Singapura.”
Satriwan mengatakan, dalam bersaing secara global, Indonesia juga perlu mempertimbangkan modal yang dimiliki Indonesia. Merujuk Human Capital Index (HCI) 2020, Indonesia menempati posisi 96 dari 174 negara.
Satriawan juga menyebut kunci kesuksesan kebijakan pendidikan dalam menghasilkan tenaga kerja terampil, ada di SMK.
Namun, P2G prihatin bahwa sampai hari ini lulusan SMK masih menyumbangkan pengangguran tertinggi di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik sampai Februari 2023 terdapat 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Pengangguran tertinggi masih lulusan SMK sebesar 9.60%, sedangkan lulusan SMA 7,69%.
Tahun 2021, lulusan SMK tertinggi menyumbang 11,45% dari total 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Tahun 2023 turun menjadi 9,60%. Artinya selama dua tahun terakhir upaya pemerintah menggenjot pendidikan vokasi hanya berhasil mengurangi 1,85% pengangguran SMK.
BPS menunjukan sampai tahun 2023 secara bertingkat angkatan kerja lulusan SD 39,76%, lulusan SMA 19,18%, lulusan SMP 18,24%, sisanya lulusan Perguruan Tinggi D1-3 2,20% dan D4, S1,S2,S3 sebesar 9,13%. Berarti produktivitas tenaga kerja Indonesia masih dihasilkan lulusan SD.
“Kenapa keterserapan angkatan kerja lulusan SD masih dominan? Mestinya makin tinggi jenjangnya, maka makin besar angkatan kerjanya. Ini seharusnya bisa dijawab dalam Debat Capres, tapi tidak disentuh.”
Dalam rilis yang sama, Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi P2G melanjutkan, Capres tidak menawarkan _Road Map_ atau _Grand Design_ Pendidikan Nasional yang gagal dibuat pemerintah sekarang.
“Kami kira tidak perlu kebijakan berjilid-jilid seperti episode Merdeka Belajar era Nadiem Makarim ini. Cukup Road Map Pendidikan Nasional yang menunjukan bahwa kita memiliki peta jalan yang jelas untuk tujuan pendidikan Nasional. Melibatkan semua kalangan,” kata Iman.
Iman berharap Road Map yang dibuat bukan hanya mengikuti trend global dan industri pendidikan yang makin teknologi sentris. Pembuatan beragam platform pendidikan dan pembelajaran telah menjadi persoalan bagi guru, dosen, siswa, sekolah dan sistem data pendidikan nasional.
Seperti bertambahnya beban administrasi seperti Platform Merdeka Mengajar (PMM) di era Nadiem Makarim sekarang, penambangan data anak, kesehatan mental anak berkaitan screen time, dan kusutnya pemutakhiran data pendidikan yang menyebabkan masalah baru dalam rekrutmen guru PPPK, server PPG yang sempat down, dan motif-motif bisnis dalam digitalisasi pendidikan.
“PMM telah menjadi momok menakutkan bagi guru. Beban administrasi guru melalui aplikasi makin bertambah di era Nadiem,” ungkap Iman.
Lalunya perihal Biaya Pendidikan. Berdasarkan dokumen visi-misi para Capres. Pasangan 01 menjanjikan sekolah gratis, yang belum terurai dengan baik maksud dari program tersebut.
Kemudian janji pasangan nomor urut 02 untuk menjalankan program makan siang dan susu gratis.
Iman mempertanyakan rencana penggunaan anggaran dana pendidikan untuk program tersebut. Sebagaimana diketahui, berdasar UUD Tahun 1945, pasal 31, pemerintah wajib menganggarkan 20 persen APBN dan APBD untuk pendidikan. APBN untuk pendidikan saja sebesar 612 triliyun.
Jika Rp 400 triliunnya justru dipakai untuk program makan siang dan susu gratis, maka jelas berpotensi bertentangan dengan UUD 1945. Sebab akan mengurangi drastis alokasi anggaran untuk bidang pendidikan lainnya.
Sementara untuk janji pasangan capres nomor urut 03, yakni akan memberikan gaji guru sebesar Rp 20-30 juta per bulan, Iman sebut tidak masuk akal. Sebab, jika dijumlahkan dengan total guru sebanyak 3,3 juta orang, anggaran APBN akan terkuras hingga lebih dari Rp 1.000 triliun.
Selain itu, maraknya Pinjaman Daring (Pindar) atau Pinjol bagi mahasiswa akibat liberalisasi Kampus berbentuk PTN BH. Keberadaan PTN-BH masih menjadi penghalang akses pendidikan bagi masyarakat ekonomi lemah. Ini harus dibenahi.
“Tapi lagi-lagi para capres tidak menyinggung persoalan mendasar ini dalam debat,” ungkap Iman kecewa.
P2G juga Menyayangkan dalam debat para Capres tak punya sedikitpun komitmen untuk mengangkat guru PNS.
“Hanya terlontar oleh Capres 01 akan mengangkat guru honorer menjadi P3K. Ini sangat disayangkan, guru P3K itu sifatnya _emergency exit_, kok malah dijadikan solusi utama. Solusi kekurangan guru adalah ya dengan membuka rekrutmen guru PNS,” ungkap Iman.
Kemudian, persoalan mendasar lainnya adalah dari 3,3 juta guru masih tersisa 1,6 juta guru belum disertifikasi. Artinya sekitar 40% lebih guru Indonesia belum memenuhi syarat profesional dan kompeten sebagaimana perintah UU Guru dan Dosen.
Kenapa ini terjadi? Karena pemerintah gagal memenuhi perintah UU Guru dan Dosen. Mestinya sampai tahun 2015 semua guru Indonesia itu harus disertifikasi. Sertifikat pendidik itu adalah salah satu syarat wajib yang menandakan seorang guru itu kompeten atau profesional.