JAKARTA – Partai pendukung Prabowo-Gibran berdasarkan quick count Indikator Politik Indonesia hasilnya di parlemen 42,9 persen. Itu juga tidak semua partai yakni hanya Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN.
Namun karena belum mencapai 50 persen, ini ada kemungkinan menyulitkan Prabowo-Gibran. Yang mana kelak rencana kebijakan ditolak oleh partai oposisi yang jumlahnya lebih dari 50 persen.
Apalagi dengan PDIP yang sudah mengajukan dan menyatakan menjadi oposisi. Pengamat politik Citra Institiute Efriza mengatakan, pragmatisme sangat kental dalam politik Indonesia.
Sehingga masyarakat tidak boleh melupakan politik pasca pemilu. Di mana akan ada pergerakan baru untuk membangun koalisi kurang lebih satu tahun setengah ke depannya.
Sebab. parta-partai politik di Indonesia selalu membedakan antara political support dan elektoral support.
“Nah koalisi di pemilu adalah berkategori elektoral support artinya hanya sebelum dan sampai hari pencoblosan. Sedangkan political support dibangun pasca pemilu, utamanya juga berpengaruh kepada proses internal di partai-partai menuju pemilihan ketua umum baru,” jelas Efriza.
Dia mengatakan, kebutuhan political support juga membuat pemerintah sadar bahwa dirinya perlu membangun kekuatan koalisi yang besar jika pemerintah tidak mau proses pemerintahan dalam membuat keputusan maupun kebijakan diganggu oleh parlemen.
“Ini adalah konsekuensi dari kita menerapkan sistem multipartai dengan perolehan suara yang tidak ada mayoritas mutlak, partai peringkat pertama hanya berkategori partai tengah,” ujarnya.
Pemerintah oleh sebab itu membutuhkan kekuatan dukungan partai lainnya, tak sekadar kekuatan koalisi pemerintah sebelum pemilu. Upaya memperluas koalisi bertemu demgan pragmatisme pattai.
Menurut Efriza, kecenderungan yang terjadi, masih ada empat partai yang bisa didekati oleh pemerintahan Prabowo-Gibran yakni, Nasdem, PKB, PKS, dan PPP. Dengan catatan jika PPP lolos di parlemen.
Kecendrungan lain dari Nasdem, PKB, dan PKS, Yang kemungkinannya paling besar adalah Nasdem, selain karena akan loyal sama pemerintah mereka saat ini sama Jokowi juga masih patuh meski di koalisi perubahan, jangan lupakan pula Surya Paloh, Prabowo, dan Airlangga sama-sama punya hubungan baik di Golkar.
“Romantime dan persahabatan memudahkan, Nasdem juga butuh membesarkan partai sebagai partai nasionalis ia akan mendahulukan kepentingan bangsa, itu alasan perkiraannya jika mau menerimanya,” kata dia.
PKB jelas hubungan Gerindra, Prabowo dan Muhaimin masih baik, sebab mereka pernah bangun koalisi KKIR menjelang Pilpres meski gagal, tapi hubungan mereka tetap hsrmonis. Peru diingat Muhaimin orangnya rasional, pragmatis, demi kepentingan kelompok atau partainya, ia enggan di luar pemerintah seperti sama PDIP dan Anies yang malah merugikan partainya dalam hal membangun hubungan baik dengan kementerian dan kelembagaan.
“Dan, jangan lupakan pula, sebenarnya Prabowo mudah mendekati PKS, hanya saja mau atau tidak, Prabowo dan Gibran mengajak PKS. Karena PKS perannya di pemerintahan malah memebsarkan partai itu ditinggalkan sebagai oposisi malah ‘melempem’, jadi memungkinkan Gerindra dan Prabowo meski pernah punya harmonis demgan PKS tapi pilihan tak usah diajak lebih baik, agar PKS tak bertaji,” jelas Efriza.
Dengan menyisakan dua partai yakni PKS dan PDIP, sebenarnya malah lebih baik. Karena dua partai ini tidak pernah akan bisa bersatu dengan sungguh-sungguh, berjuang bersama sebagai oposisi. Artinya oposisi terberat dan oposisi yang riil hanya tinggal dari PDIP, sedangkan PKS hanya berkategori oposisi caper.