JAKARTA – Kasus korupsi BTS Kominfo dengan nilai Rp8,03 triliun sampai saat ini masih terus berjalan. Namun masih belum pasti kisaran asli angka korupsi BTS ini.
Sebab pada April 2023 lalu Iskandar Sitorus Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) meragukan angka kerugian tersebut. Keraguan Iskandar ini karena fakta dipersidangan yang memperlihatkan ketidaksesuaian data yang dikeluarkan Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Bahkan bila Kejagung mendapat dukungan dari BPKP soal nilai kerugian negara sehingga keterangan dipersidangan justru fakta yang dihadirkan kotroversial dengan yang ada. Inilah yang kemudian membuat IAW mulai membongkar angka kerugian negara akibat BTS Kominfo.
Plt Direktur Keuangan BAKTI Kominfo Ahmad Juhari menyebutkan pembangunan tahap I BTS 4G yang rencana awal 4.200 menara, ternyata angka finalnya hanya 4.112 titik dengan nilai kontrak pembelian Rp10,8 triliun. Angka ini pun termasuk pajak Rp1,3 triliun yang langsung dipotong.
Pada April 2022 silam, ada catatan pengembalian dana Rp1,7 trilium dari konsumsi. Ini adalah dana dari konsorsium yang kemudian masuk kembali ke kas.
Sehingga pembayaran total bersih kepada konsorsium pelaksanaan proyek hanya Rp7,7 hingga Rp7,8 triliun. Iskandar menyebutkan, nilai ini lebih kecil jika dibandingkan perhitungan kerugian oleh BPKP.
Kuasa hukum Anang Achmad Latif yakni Aldres Napitupulu mengatakan dengan jelas bila perhitungan yang dilakukan BPKP tidaklah benar. Menurutnya, para ahli hukum keuangan negara yang dihadirkan dipersidangan mempertanyakan keakuratan penghitungan tersebut.
“Ahli hukum keuangan negara tadi dengan tegas menyatakan bahwa harus benar penghitungannya. Berapa uang negara yang keluar itu baru bisa menilai kerugiannya,” kata Aldres.
Iskandar melanjutkan meski ada pengembalian dana, BPKP tetap bertahan dengan angka kerugian Rp8 triliun tersebut. Sehingga dikatakan Iskandar, menyebabkan adanya ketegangan antara penegak hukum dengan badan pengawas.
“Pertanyaannya, bagaimana pertanggungjawaban Kejagung dan BPKP dalam menghadapi ketidaksesuaian angka yang dapat memengaruhi integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut?” kata Iskandar.
“Masih pantas dipercaya sidang-sidang BTS 4G itu tanpa terkuak siapa pelaku korupsi proyek itu sebab seluruh korporasi main kontraktor belum tersentuh dengan seharusnya sebagaimana Undang-undang Perseroan Terbatas,” tambahnya.
Iskandar mengatakan bahwa IAW bersikukuh bahwa jika penyidik Kejagung belum menyentuh hal itu sama saja dengan persidangan dagelan. Di mana ini seperti tidak menerapkan pertanggungjawaban UU PT, berarti Kejagung disebut IAW belum secara teliti dan tuntas untuk menelusuri seluruh aliram uang proyek sesuai tindak pidana korupsi yang dipersangkakan.
“Tentu publik akan semakin yakin terlebih terlihat dari contoh uang suap 40 miliar yang diterima Aqsanul Qosasih. Awalnya diasumsikan uang telah habis, tidak ditemukan saat penhheledahan namun tiba-tiba bisa dikembalikan penuh seperti sedia kala,” ujar Iskandar.
Sayangnya sumber uang pengembalian ini tidak terdeteksi Kejagung meski IAW membuka dugaan sumber pengembalian angka Rp40 miliar.
“Bagaimana publik akan percaya terhadap Kejagung akan mampu telusuri aliran uang lainnya yang sampai kepada orang-orang nesar di DPR RI, individual yang sedang jadi Menteri maupun tokoh besar di belakang layar?” tambahnya.
Hal ini pula yang membuat IAW terlihat tetap konsisten dengan menyatakan bahwa akan terus memberi bocoran-bocoran aliran uang yang terkonsolidasi kasus TPK BTS 4G. Salah satunya adalah transaksi pembelian saham korporasi besar yang sempat ambruk menjadi terdongkrak dengan adanya transaksi kisaran 100an miliar pada salah satu sekuritas berinisial NHK dengan inisial investor AK.(***)