JAKARTA – Ganjar Pranowo dan Mahfud MD berada diurutan terakhir dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Ini terlihat dari hasi quick count atau hitung cepat berbagai lembaga.
Di mana suara pasangan nomor 3 itu hanya sekitar 16-17 persen. Hal ini ditanggapi oleh pengamat politik dari Citra Institute.
Efriza mengatakan dalam Pemilu 2024 ini, PDIP harus mengubur mimpi mereka dalam-dalam untuk merasakan menang tiga kali berturut-turut atau hattrick dalam Pilpres. Namun mereka masih bisa ttersenyum karena PDIP tetap menang sebagai partai di parlemen.
Dosen ilmu pemerintahan di Unpam ini mengatakan, penyebab kekalahan PDIP ini ada dua hal berbeda. Di mana masyarakat sudahh mulai mengoreksi partai berlambang banteng moncong putih tersebut.
Apalagi hubungan buruk antara Jokowi sebagai kader dengan PDIP sebagai tempatnya bernaung dan terpilih sebagai presiden dua periode. Menurut Efriza, masyarakat jebgah dengan sikap “jumawa” PDIP.
“Masyarakat melihat PDIP yang terjesan mengatur. Padahal masyarakat yang punya hak pilih maka mereka yang mengatur PDIP,” kata Efriza kepada rupol.co.
Dia menjelaskan, sikap masyarakat dalam Pilpres kali ini menunjukkan bahwa rakyatlah yang berkuasa. Mereka tak suka partai yang tinggi hati karena dua kali berhasil memerintah.
Efriza mengatakan, rakyat dalam Pemilu pada 14 Februari kemarin seolah ingin mengatakan bahwa Ganjar-Mahfud bukan pilihan masyarakat.
“PDIP seakan dihukum oleh masyarakat. Tetapi nasib PDIP masih baik tidak seperti Partai Demokrat di 2014 yang sudah tak memerintah dan terlempar dari posisi peringkat pertama serta sekarang hanya menjadi partai semenjana,” ungkap Efriza.
Adapun PDIP tak terlempar jauh karena caleg PDIP bekerja dengan baik dan hasilnya memuaskan masuarakat. Kader-kadernya pun solid bergerak di simpul-simpul masyarakat serta mau berbaur.
“Mereka petahanan juga dinulai hasilnya memuaskan oleh masyarakat,” kata Efriza.
Dia menambahkan, caleg dan kader ini berbeda dengan Ganjar yang berbaur dengan masyarakat. Sebab Ganjat terlihat emosional, masyarakat jengah dengan mantan Gubernur Jawa Tengah itu yang mengkritik Prabowo.
“Ganjar juga terus menyerang pemerintah, padahal Jokowi ya pemerintahan PDIP,” kata Efriza.
Keinginan kekuasaan Ganjar, dikatan Efriza terlalu tinggi dengan tingkat emosi yang tinggi pula. Apalagi Ganjar terkesan ingin menyajikan dirinya capres intelektual, berkualitas, dan flamboyan.
“Padahal masyarakat juga merasa prestasi Ganjar gak istimewa amat. Ia berbaur dengan masyarakat hanya unruk kepentingan sesaat aja,” ujar Efriza.
“Ini semua disinyalir menjadi penilaian dari ketidakpilihan Ganjar. Bagi masyarakat bahwa Ganjar tak layak menjadi Presidennya Rakyat, menunjukkan rakyat meragukan kepemimpinan Ganjar, sikap arogan Ganjar, emosionalnya, itu juga yang membuat masyarakat menolak memilih Ganjar, dan menunjukkan ‘penghakiman’ terhadap PDIP, karena PDIP dianggal kurang cermat dalam memilih capres yang tak pantas dalam penilaian masyarakat, itu pesan dari ketidakpilihan masyarakat terhadap pasangan capres-cawapres Ganjar-Mahfud,” tambahnya.
Sedangkan caleg-caleg PDIP berbeda, mereka mendekat kepada masyarakat, para calegnya seolah berkegiatan memperlihatkan pilpres boleh panas, tetapi para calegnya bercengkrama hangat dengan masyarakat menyampaikan gagasannya, tentu saja bahasanya lebih Santun, bijak, mengajak, bukan seperti komunikasi politik Ganjar yang seolah hanya tahunya “nyeruduk saja”.