JAKARTA – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari dinyatakan melanggar etik terkait tindakannya dalam proses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres). Putusan ini diputuskan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) di Gedung DKPP, Senin (5/2/2024).
Ketua DKPP Heddy Lugito mengatakan menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir kepada Hasyim Asy’ari. Hal ini membuat pakar hukum Tata Negara ikut angkat bicara.
Hananto Widodo pakar hukum Tata Negara dari Universitas Negeri Surabaya mengatakan, bahwa sanksi yang dikenakan pada Hasyim termasuk yang tidak berat (kategori berat sedang) sehingga tidak ada pemecatan atau pemberhentian.
“Jika ketua KPU melakukan pelanggaran ringan lagi juga tidak akan dipecat,” ujar Hananto yang dihubungi Rupol.co, Senin (5/2/2024).
Bahkan dia mengatakan, tidak ada batasan berapa kali pelanggaran dilakukan tanpa ada pemecatan. Namun jika melakukan pelanggaran berat, maka akan dipecat dari jabatannya.
“Saya dulu pernah jadi tim pemeriksa DKPP Jawa Timur 2019-2021. Ada yang pernah kena sanksi peringatan keras terakhir dan yang bersangkutan setelah itu pernah melakukan pelanggaran lagi,” ungkapnya.
Dia mengatakan, orang itu saat melakukan pelanggaran lagi, sanksinya hanya peringatan. Hananto mengungkapkan bila orang tersebut bisa lolos kembali ketika ikut seleksi Bawaslu di Surabaya.
“Bila ketua KPU melakukan kekerasan seksual, maka sanksinya ada pemberhentian. Selama saya di DKPP ini yang paling berat dan kasus suap,” kata Hananto sambil bercerita.
Dia mengaku, pernah mendapatkan ketua KPU yang menerima suap.
“Saya pernah mendapat ketua yang menerima suap tapi orangnya tidak mengaku,” tuturnya.
Hananto menjelaskan, dalam pelanggaran etik ada tiga indikator yakni integritas, profesionalitas, dan indenpendensi. Dia mencontohkan, integritas seperti suap dan kekerasan seksual.
Sedangkan profesionalitas adalah melayani dengan kurang profesional. Independensi yakni berfoto bersama dengan calon presiden di mall.