Oleh: Dr M Sholeh Basyari, direktur eksekutif CSIIS Jakarta dan dosen Pascasarjana Unsuri Ponorogo
JAKARTA – Satu pekan setelah pemilu, situasi politik tampak normal cenderung landai. Riak-riak gerakan massa di Bawaslu maupun KPU, terkendali dan tercover oleh unit-unit pengamanan reguler tanpa melibatkan kekuatan cadangan. Jumat malam besuk, istighosah mingguan rutin di salah satu pusat strategi timnas Amin (Brawijaya 10), adalah istighosah penutupan.
Beda halnya dengan dinamika di Tim Pemenangan Ganjar Mahfud. TPN Ganjar mencoba memindahkan medan tempur ke Senayan. Gerakan ini ditandai dengan “simulasi” dan “mitigasi” penggunaan hak angket maupun interpelasi. Sementara di ruang lain, saling silang antara Muhaimin Iskandar dengan Saifullah Yusuf, dua saudara sepupu trah Denanyar, menyeruak di sela-sela PKB mereguk elektoral melebihi pemilu-pemilu sebelumnya. Tulisan berikut mencoba menyajikan analisis tentang dinamika kontemporer PKB paska pemilu 2024.
Sembilan catatan PKB paska pemilu
Pertama, efek ekor jas
Harus diakui bahwa PKB menikmati hasil positif dari faktor dan aspek Anies Baswedan (bukan Muhaimin) sebagai capres yang diusung PKB. Disebut faktor Anies Baswedan, sebab di basis-basis Anies, basis Islam kanan, Jawa barat, DKI dan Banten, PKB menambah kursi, “pecah telur” dan otomatis meningkat tajam perolehan PKB secara nasional.
Kedua, perluasan captive market
Jawa barat, DKI, Banten, sumatera barat, Sumatera umumnya, Sulawesi, serta sejumlah daerah lainya. Pada fenomena yang sama, secara lebih detail, captive market juga menyasar meluas ke basis-basis di luar NU. Priangan Timur (Tasikmalaya dan sekitarnya) serta Priangan Barat (Sukabumi dan sekitarnya), adalah kantong-kantong mantan kombatan DI/TII. Artinya secara geopolitik selama ini, daerah-daerah itu adalah wilayah kekuasaan PKS. Partai yang mempresentasikan politik kanan. Sama halnya dengan Banten. Di Banten bahkan sel-sel DI/TII masih “aktif”. Dengan analisis geopolitik seperti ini, mudah bagi kita untuk mengukur bahwa sejatinya tidak ada peran Muhaimin sebagai ketum PKB, dalam mendongkrak suara PKB di daerah-daerah tersebut.
Ketiga, resources caleg yang kuat
Sementara dominasi PKB di Jatim lebih karena faktor, sumber daya para calegnya yang kuat, petarung dan tingkat ketokohan yang diterima publik luas. Rusdy Kirana di Jatim VIII, syaikhul Islam Ali Masyhuri dan Arzeti Bilbina, Halim Iskandar, Hanif Dhakiri, Ana Muawanah, Jazilul Fawaid, Fathan Subki, Kadir Karding, Marwan Jakfar, adalah profil sejumlah figur kuat dari sisi dana, keumatan dan birokrat. Tetapi ada fenomena lain selain melonjaknya suara PKB secara nasional, justru dibarengi dengan menurunnya suara PKB di Jateng. Artinya, kenaikan PKB di Jatim dan turunnya PKB di Jateng, sama-sama terlepas dari aspek Muhaimin.
Keempat, edewasaan berpolitik para politisi PKB
Hal yang menonjol yang berakibat langsung terhadap perolehan PKB adalah kematangan dan kedewasaan politik kader dan calegnya. Manajemen “iron hand” Muhaimin, yang menepikan kader-kader utama (meski diberi kesempatan nyaleg dan terpilih), tidak membuat sejumlah kader seperti Marwan Jafar ataupun sejumlah mantan elit PKB, seperti Ali Masykur Musa, Abdul Kadir Karding, Imam Nahrowi, Lukman Edy, Alwi Shihab, Hikam bahkan Mahfud MD berisik di luar. Mereka mampu menahan diri untuk tidak memperuncing konflik dengan mempublish konflik-konflik tersebut. Sepertinya PKB banyak belajar dari Golkar dalam mengelola konflik internal.
Kelima, Ketepatan dalam menerapkan nano strategy
Nano strategy adalah kampanye dengan teknik unik, kreatif dan memunculkan curiosity. PKB yang ber-genre partai aktivis, bisa disebut satu-satunya parpol yang masih menyisakan slot untuk para aktivis yang punya pengalaman luas dalam menjaga basis konstituen dan lihai dalam menghadapi pragmatisme massa. Keberhasilan Kaisar Abu Hanifah di dapil Jogja dan Zainul Munasikin di dapil Sukabumi dan beberapa aktivis pmii yg lain tetapi dibekali dg sumber daya yang besar adalah Paragon nano strategy tersebut.
Keenam, dukungan kyai kultural
Seperti disebut sekjen PBNU Saifullah Yusuf, peran para kyai dalam menjaga dan mendongkrak suara PKB juga signifikan. Kyai Nurul Huda Jazuli, Ploso Kediri, yang menyebut PKB dan NU dengan “huwa huwa” dia (PKB) adalah dia (NU), adalah kerja politik nyata dalam menjaga captive market PKB.
Ketujuh, stabilitas internal
PKB sudah mengalami banyak peristiwa konflik yang menyebabkan turunnya suara PKB secara drastis. Pembelajaran konflik yang panjang, berdarah darah menyebabkan adanya kesadaran kolektif hari ini, bahwa perbedaan visi tentang PKB cukup diselesaikan di arena Muktamar setiap 5 tahun sekali. Diluar itu tidak boleh ada konflik yang membahayakan kebesaran partai. Tertanam jiwa korsa bukan hanya di kalangan pengurus, tetapi juga sampai kepada elit, aktivis, bahkan konstituen di akar rumput.
Kedelapan, hasil pilpres dan pileg
Tahun ini mengisyaratkan bahwa loyalitas konstituen PKB jauh lebih besar pada partai dibanding loyalitasnya kepada ketua umum (cak Imin). Hal ini tergambar dari dan dibuktikan dengan hanya 35 persen pemilih PKB memilih pasangan Amin. Sementara justru 55 persennya memilih Prabowo Gibran dan sisanya memilih Ganjar Mahfud. Gambaran ini bisa juga dimaknai bahwa konstituen membutuhkan penyegaran Top Leader PKB.
Kesembilan, perolehan pasangan Amin
Pada pilpres yang tidak linier dengan kenaikan suara partai, menandakan secara idiologis pilihan cak Imin bergabung dengan Anies, ditolak oleh Nahdliyin. Seperti kita ketahui, menyatukan basis idiologis NU yang mendukung PKB dengan basis ideologis pendukung Anies yang kanan seperti menyatukan minyak dan air, dua senyawa yang mustahil ber-chemistry. Wallahu a’lam