JAKARTA – Apakah memang seharusnya DPR yang melakukan hak angket atau ada lembaga lain yang memiliki wewenang itu? Pertanyaan ini kemudian muncul karena anggota DPR yang dengan semangat untuk membuat hak angket untuk melakukan pembuktian kecurangan yang terjadi pada Pemilu 2024 ini.
Hal ini kemudian ditanggapi oleh Efriza, pengamat politik Citra Institute. Dia mengatakan, sengketa pemilu semestinya memang diproses diberbagai lembaga penyelenggara pemilu seperti Bawaslu, DKPP, dan proses sengketa MK.
“Ketimbang berlarut-larut di DPR, artinya kita juga menempatkan persoalan pemilu di peradikan pemilu. Sepertinya baru tingkat lokal yang lebih mengedepankan peradilan pemilu ketimbang melibatkan proses di legislatif,” kata Efriza.
Dari sana, jika memang terindikasi banyak kecurangan, dinyatakan Terstruktur, Sistematis, dan Masif baru diproses ke DPR. Artinya ada narasi, bukti, dan fakta persidangan. Bukan sekadar konflik “rumah tangga” atau internal antara PDIP dan Jokowi.
Sedangkan sekarang ini, sebenarnya juga hak angket kurang dapat berjalan maksimal. Karena konsentrasi para caleg lagi fokus kepada diri masing-masing ketika maju kembali, mereka fokus kepada terpilih kembali atau tidak. Mereka fokus mengawal suaranya.
“Lagi pula, jika dibaca seksama narasi kecurangan ini lebih kuat karena rasa dongkol semata PDIP dengan Presiden Jokowi. Andai saja Jokowi tak endorse Prabowo dan ajukan Gibran kemungkinan sikap PDIP akan sama menerima hasil pilpres. Jadi pilpres curang, acap sekadar narasi kubu yang kalah saja. Sedangkan Hak Angket digunakan adalah mencari sensasi publik saja, tapi hak angket acap ‘masuk angin’,” jelas Efriza.
Jadi, dia mengatakan, memang sebaiknya MK saja difungsikan agar proses dari pemilu cepat selesai. Legitimasi rakyat diterima, pemerintahan harus berjalan, bukan motivasinya menyandera pemerintahan atas nama kepentingan kelompok yang sekadar membawa nama rakyat.
Lagipula, jika berlarut proses hak angket, para legislatornya banyak tak terpilih kembali, prosesnya jadi beda semangat juangnya, minimal suasana kebathinannya. Apalagi jika ternyata partai-partai koalisinya malah berubah haluan menjadi pendukung pemerintah, jadi percuma juga prosesnya.
Semestinya proses Pemilu memang harus cepat selesai, bukan dibuat berlarut-larut dan akhirnya hanya menghadirkan upaya memberikan cap negatif, sentimen negatif saja kepada pasangan capres-cawaprrea yang akan menjalani pemerintahan terpili. Ini tentu pola sikap pragmatis politisi saja, yang tak siap kalah sebenarnya.
“Jadi kesalahan, kecurangan memungkinkan, tapi cukup sebaiknya proses sengketa hukum, dengan niat dasar sama-sama membangun negeri, bukan layaknya balas dendam, kalah di pilpres ‘ngamuk’ dan unjuk gigi di Senayan. Padahal menjelang satu tahun menuju pemilu, parlemen selalu sepi dalam membuat keputusan untuk masyarakat, mereka sibuk di daerah pemilihan untuk berusaha terpilih kembali,” tambahnya.
Tetapi ketika kalah merasa partainya paling terdzholimi dengan narasi kecurangan, yang juga sebenarnya jika dibaca narasi itu juga tak berbeda dengan menganggap pilijan masyarakat salah karena tak memilih partai mereka.