JAKARTA – Ambang batas 4 persen lolos parlemen saat ini menjadi perdebatan. Hal tersebut karena Mahkamah Konstitusi (MK) yang tiba-tiba meminta untuk menghapus hal itu.
Di mana kemudian pro kontra ada terkait hal itu antara satu dan lainnya. Bukan hanya pakar hukum yang menanggapinya, tetapi pengamat politik pun ikut menanggapi hal tersebut.
“Ini agak terlambat dari pada tidak sama sekali ya keputusan tersebut sebagai keputusan hukum yang harus dihormati,” ungkap pengamat politik Ujang Komarudin kepada Rupol.co.
Dia mengatakan, meski keputusan baru sekarang ditetapkan, tetapi untuk berlakunya aka tetap pada 2029 mendatang. Sebab menurutnya, jika berlaku sejak 2024 hal ini bisa kacau.
“Ambang batas ini apakah ada lobi-lobi dari partai yang tidak lolos ke Senayan atau partai baru? Ya bisa jadi. Yang jeas keputusan MK harus dihormati senang tidak senangnya,” tegas Ujang.
Dia menambahkan, dalam konteks tersebut, bisa lihat progres kedepannya.
“Kan sudah saya katakan dari dulu kalau 4 persen itu kuburan bagi partai non parlemen dan partai baru. Kita lihat di 2029 saat 4 persen itu hilang,” tuturnya.
Pengamat politik Citra Institute Efriza mengatakan, langkah MK menghapus ambang batas parlemen, sebenarnya baik.
“Hanya saja konsekuensinya adalah partai kita menjadi partai ekstrem kita tidak menuju kepada sistem kepartaian multipartai sederhana. Konsekuensinya partai-partai kecil dibawah 4 persen bisa lolos di parlemen,” jelas dia.
Ini artinya proses di parlemen dalam pengambilan keputusan akan semakin berlarut-larut. Partai-partai kecil itu akan juga kemungkinan besarnya menikmati kursi di kementerian.
Dia mengatakan, ini menunjukkan proses berlarut-larut di parlemen, juga memberikan dampak kualitas terhadap proses perundang-undangan yang memungkinkan malah merosot dari segi kualitas dan kuantitas.
Diyakini akan turut pula menghadirkan politik bagi-bagi kekuasaan. Suaranya di parlemen, tidak terdengar, tidak berpengaruh tetapi partai-partai ini mendapatkan kursi di kabinet. Ini menunjukkan politik kita mundur ke belakang, sebab semua hal yang disebutkan negatif tadi adalah konsekuensi dari saat itu tidak diterapkan ambang batas parlemen.
“Memang benar ambang batas parlemen atau PT banyak membuang suara rakyat dalam memilih caleg. Tapi rakyat mulai cerdas buktinya, dua periode pemilu kemarin dan 2024 ini partai-partai baru tidak bisa lolos ambang batas parlemen di Senayan, serta penyusutan jumlah partai di Senayan dari 2014 berjumlah 10 partai memperoleh parliamentary threshold kemudian 2019 menjadi 9 partai politik dan 2024 ini menyusut menjadi 8 partai politik kemungkinannya. Dan, ini menjelaskan proses di parlemen lebih di kedepankan, partai tetap boleh berdiri tapi ia diperberat untuk lolos di Senayan harus memenuhi ambang batas kursi 4 persen untuk lolos di Senayan,” tutupnya.