Oleh: Direktur Eksekutif CSIIS Sholeh Basyari
JAKARTA – Debat ketiga Minggu (7/1/2024) kemarin, menggambarkan dominasi Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo. Debat kemarin juga menghadirkan kegagalan Prabowo beradaptasi dengan medan politik. Ranah politik berbeda jauh dengan medan tempur militer.
Proyeksi ke depan, menjadi penting bagi semua kandidat capres-cawapres, tidak saja niscaya membekali diri dengan sejumlah data, retorika, narasi plus kecepatan serta ketepatan analisis, tetapi juga dengan kecerdasan emosional sebagai wujud dari adaptasi terhadap watak perdebatan.
Sejumlah hal ini idealnya menjadi evaluasi bagi semua, agar debat capres berkualitas. Pertama, capres-cawapres yang mengikuti debat, ada baiknya membaca kembali perdebatan sejenis, baik di era demokrasi kontemporer maupun pada jaman klasik: demokrasi Yunani.
Pada dua kutub demokrasi tersebut, perdebatan terjadi secara tajam, memicu tension dan tentu saja memunculkan turbulensi bagi penyimak dan penikmatnya. Tetapi justru karena sejumlah hal itulah, debat capres menjadi penting dan “menyehatkan”.
Kedua, sejumlah hal itu, “melatih” capres-cawapres yang ada, untuk membiasakan diri mengelola kepentingan bangsa secara umum dalam bingkai ketegangan tinggi. Dengan habitualisasi model ini, esensi demokrasi yang bertumpu pada kehendak dan mandat rakyat, bisa dihindari dirampas oleh otoritarianisme yang berbaju demokrasi.
Ketiga, kegagalan Prabowo bukan semata akibat faktor personality-nya yang tegas dan temperamental. Kegagalan Prabowo juga bukan sebab dia gagal mengelola kesabaran dalam semua penugasan.
Kegagalan Prabowo juga bukan sebab dia berlatar belakang militer. Tetapi publik menjadi paham, kegagalan Prabowo beradaptasi dengan medan tempur politik dalam wujud debat capres adalah tampaknya dia tidak terbiasa berdiskusi dan sharing ide seperti jenderal SBY.