Oleh Nandang Wirakusumah, S.H : Advokat Pengacara Nwk & Co dan Aktivis Persaudaraan 98
JAKARTA – Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, KPU merupakan Lembaga Penyelenggara Pemilu yang diawasi oleh Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP). Sejak penyelanggaraan pemilu dilakukan oleh KPU pasca reformasi, KPU telah berhasil menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan maupun aturan yang berlaku.
Namun, terlepas dari keberhasilan tersebut, terdapat masalah teknis yang kerap kali di persoalkan. Persoalan tersebut berkaitan dengan sengketa pemilu. Terdapat dua jenis sengketa yang diakui dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yaitu sengketa proses dan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU).
Sengketa proses dapat timbul antara peserta pemilu atau peserta dengan penyelenggara pemilu, seiring dengan keputusan yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Begitupun dengan dengan sengketa perselisihan.
Perselesihan sengketa diatas, diselesaikan oleh Lembaga yang berwenang yakni Mahkamah Konstitusi. Lembaga ini memiliki peran krusial dalam menjaga stabilitas politik dan meyakinkan masyarakat akan keabsahan hasil pemilu. Oleh karena itu, sengketa pemilu diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi dengan tujuan mewujudkan proses pemilihan umum yang demokratis, adil, dan akuntabel.
Belakangan muncul isu mengenai hak angket untuk menyelesaikan persoalan kecurangan pemilu. Hak angket merupakan hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap penyelenggaraan Undang- Undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis dan berimplikasi luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang–undangan.
Hak angket juga menjadi salah satu pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. Jika hak angket digunakan sebagai alat untuk mengurai permasalahan pemilu, maka pada hakikatnya itu telah masuk pada ranah sengketa pemilu. Kondisi ini justru merupakan yuridiksi pengadilan penyelesaianya melalui kompetensi absolut MK, bukan DPR.
Langkah hak angket yang di inisiasi oleh PDIP sebuah gerakan salto yang meloncati sistem hukum di Indonesia karena tidak sesuai Jalur Konstitusional. Sebab hak angket tersebut justru berbenturan dengan tugas dan fungsi oleh DKPP, Bawaslu maupun MK. Ketiga Lembaga ini merupakan saluran konstitusional untuk menyelesaikan persoalan pemilu bukan melalui agenda manuver politik (hak angket).
Disisi lain, agenda hak angket yang di gaungkan oleh Capres dengan raihan suara dan legitimasi pemilih hanya 17 persen lebih sangatlah terlihat watak dari sorang Ganjar yang kurang mengedepankan permasalahan yg lebih penting dan mulia adalah, kepentingan bangsa, dan sikapnya ini hanya di lakujan sendiri tidak dilakukan bersama Cawapresnya Pak Mahfud MD yang menganggap tidak punya kepentingan dan tidak ada pengaruhnya terhadap hak angket yang di gukurkan ganjar bersama PDIP dan indakan ini tak bukan hanya untuk menggagalkan hasil pemilihan presiden (kelompok kalah).
Jerih payah masyarakat dalam memberikan kepercayaan melalui hak suaranya saat pemilihan berlangsung justru dikebiri dengan agenda hak angket. Suara rakyat adalah suara tuhan hanyalah kalimat utopis karena adanya agenda hak angket.