Oleh: Efriza pengamat politik Citra Institute
JAKARTA – Hak Angket itu boleh saja silahkan digunakan oleh anggota DPR dari partai politik. Diusulkan oleh minimal 25 orang lebih dari satu fraksi. Hanya saja, usulan ini sebenarnya tidak terlalu perlu dilakukan. Sebab pola umumnya biasanya semangat di awal lalu perlahan melempem.
Lagi pula, kecurangan Pemilu selalu dihembuskan tiap pemilu. Nyatanya hanya kuat sebagai komunikasi politik dan sikap seorang politisi di negeri ini, yang tidak pernah mau menerima kekalahan dengan lapang dada. Kecurangan memungkinkan terjadi hanya presentasenya diyakini kecil. Di era media sosial, pengawas masyarakat amat tinggi.
Lokasi TPS juga saat mudah orang melihat hasil. Bahkan, individu, maupun kepala RT/RW amat getol juga menjaga situasi penyelenggaraan pemilu dikerjakan dengan benar tanpa bermasalah. Apalagi jelas dua partai seperti PDIP dan PKS misalnya punya saksi di banyak TPS yang militan, utamanya punya PDIP punya Badan Pemenangan Saksi Nasional (BPSN) diyakini setiap TPS ada Saksinya, lalu PDIP yang paling getol teriak curang, hal mana sebelum pemilu.
Menjadi sikap yang miris dari PDIP, saksinya juga sudah menandatangani C-Hasil Plano, saksinya hadir dan memantau, lalu menandantangani C-Hasil, dan C-Salinan, tapi partainya teriak curang. Ini benar-benar sikap yang ambigu, dan mungkin beraktegori mengecewakan di mata publik.
Bukankah dalam prosesnya ketika Jokowi dan PDIP menang tempo lalu, kubu Prabowo dinarasikan tak tahu malu, kalah 7 juta suara, pemilu sudah luber dan jurdil tapi bereriak curang. Sikap PDIP dulu begitu menghargai suara masyarakat, sedangkan sekarang PDIP melakukan hal yang sebaliknya, mengecewakan ya, karena pasangan capres-cawapresnya kalah tapi narasinya sama saja kecurangan.
Bahkan, PDIP sebelum tahu hasilnya dalam kategori masih hitungan jam, sudah teriak curang. Semestinya PDIP belajar menghormati dulu pilihan masyarakat, apresiasi dulu para penyelenggara pemilu adhoc seperti KPPS, PPS, para kepala RT/RW yang telah berjuang mensukseskan pemilu di daerahnya, mereka bahkan banyak yang akhirnya meninggal dunia.
Singkatnya, hargai prosesnya dulu, baru berpikir proses di parlemen dengan bentuk Hak Angket ataupun Hak Interpelasi. Ini baru sikap partai yang menghargai proses demokrasi, demokrasi harus didaulukan diapresiasi, artinya kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara dulu dikedepankan diatas kepentingan golongan atau partai semata.
Jika PDIP tak memproses berbagai mekanisme hukum lainnya seperti pengaduan ke Bawaslu, DKPP, maupun mekanisme sengketa melalui MK, ini mencerminkan sasaran PDIP hanya kepada Presiden Jokowi. Ini artinya teriak kecurangan hanya karena PDIP sedang “ngambek tingkat dewa” karena ditinggal Jokowi. Bukan sekadar ditinggql, Jokowi mengendorse Prabowo, dan mengajukan Gibran, ternyata malah PDIP merasakan kekalahan.
PDIP terlempar ke posisi buncit perolehan suara pasangan capres-cawapresnya, dan diyakini PDIP mengalami kemerosotan suaranya di Pileg dan juga segi persantasenya jika dibandingkan 2019 lalu, bahkan yang semestinya PDIP elektabilitasnya bisa tembus 23 persen. Jadi memungkinkan sikap Hak Angket ini adalah perasaan dalam bahasa sarkas anak sekarang, PDIP “nyesek to the bone” karena tak rampak barisannya kawanan Banteng Moncong Putih.
Hanya kita perlu menunggu langkah PDIP ini apa didukung partai-partai lain. Sebab, partai lain juga berpikir cermat, jangan sampai mereka turut menggulirkan hak angket, ternyata hanya mendukung kekesalan PDIP saja sama Jokowi. Malah ternyata buktinya misalnya tidak kuat, rangka bangun narasi kecurangan ternyata tak benar-benar bisa dibuktikan.
Apalagi jika malah menyebabkan masyarakat kecewa bahwa rakyat sebagai pemilih per individu memang tidak memberikan legitimasi kepada pasangan Ganjar-Mahfud dan juga memang sedang memberikan hukum bagi PDIP, tentu saja partai-partai lain bisa berbalik badan, karena suara rakyat yang kemungkinan benar dengan diberikan atas nilai kejujuran, tanpa kecurangan, andai ada persantasenya hanya sedikit, tetapi PDIP dan Ganjar-Mahfud saja yang tak bisa menerima kekalahan namun menarasikan adanya kecurangan. Ini tentu memungkinkan ditolak oleh partai-partai lain, sebab kepentingan bangsa dan negara lebih penting ketimbang terjebak kepentingan partai dan terlibat dalam proses konflik antara PDIP dan Jokowi.